Mengapa HR Memilih Resign? Realita Pahit di Balik Profesi Human Resources

Mengapa HR Memilih Resign? Realita Pahit di Balik Profesi Human Resources
Profesi Human Resources (HR) sering kali dianggap sebagai “jantung” perusahaan, mengelola berbagai aspek sumber daya manusia agar organisasi tetap berjalan dengan baik. Namun, di balik peran strategisnya, banyak praktisi HR yang akhirnya memilih untuk mengundurkan diri. Mengapa demikian? Berikut adalah beberapa alasan utama yang menggambarkan realita pahit yang dihadapi HR di banyak perusahaan.
1. HR = “Tempat Sampah” Masalah Perusahaan
Semua persoalan karyawan, mulai dari konflik internal, performa kerja, hingga kesejahteraan mental, dilemparkan ke HR tanpa adanya dukungan dari manajemen. Sementara atasan tinggal duduk manis, HR harus berjibaku menyelesaikan semua masalah yang muncul.
2. Tugas Menangani Burnout, tapi Justru Jadi Korban
Ironisnya, HR sering kali diminta untuk menangani burnout karyawan, tetapi di saat yang sama, HR sendiri dibebani dengan pekerjaan yang terus-menerus tanpa henti.
3. Perisai Perusahaan Saat PHK
Ketika terjadi pemutusan hubungan kerja (PHK), HR-lah yang harus maju menghadapi karyawan yang terdampak. Manajemen sering kali menghindar agar citra mereka tetap baik di mata karyawan.
4. Manajer Toxic Naik Jabatan, Karyawan Keluar
HR sering menyaksikan bagaimana manajer toxic justru mendapatkan promosi, sementara akibatnya adalah gelombang resign massal dari karyawan yang tidak tahan dengan gaya kepemimpinan yang buruk.
5. HR Disalahkan untuk Masalah Keuangan Perusahaan
Ketika gaji karyawan telat atau tunjangan tidak cair tepat waktu, HR yang disalahkan. Padahal, urusan keuangan sepenuhnya berada di tangan tim finance.
6. Compliance Dipertaruhkan
HR berjuang keras agar perusahaan mematuhi aturan ketenagakerjaan dan regulasi lain, tetapi sering kali harus menghadapi hambatan internal dari atasan yang lebih mementingkan keuntungan bisnis dibanding kepatuhan hukum.
7. Rekrutmen Minim Budget, tetapi Diminta Hasil Kelas Dunia
HR dituntut untuk merekrut kandidat terbaik, tetapi tanpa anggaran yang memadai. Akibatnya, HR dipaksa mencari solusi tanpa sumber daya yang cukup.
8. Beban Administrasi Berlebihan
Alih-alih fokus pada pengembangan strategi SDM, HR sering kali tenggelam dalam tugas administratif yang seharusnya dapat diotomatisasi atau dikerjakan oleh tim khusus.
9. Tidak Dilibatkan dalam Keputusan Strategis
HR disebut sebagai “partner bisnis strategis,” tetapi kenyataannya tidak diberikan ruang dalam pengambilan keputusan penting perusahaan.
10. HR Harus Profesional, tapi Lingkungan Tidak Mendukung
HR dituntut untuk selalu profesional dalam bekerja, tetapi lingkungan kerja yang penuh dengan kepentingan politik internal membuat HR sulit menjalankan tugas dengan objektif.
Kesimpulan: HR Butuh Dukungan, Bukan Sekadar Tuntutan
Realita di atas menunjukkan bahwa HR sering kali diperlakukan sebagai problem solver tanpa diberikan wewenang dan dukungan yang cukup. Jika perusahaan ingin mempertahankan talent HR yang berkualitas, maka perlu adanya perubahan mendasar dalam cara organisasi memperlakukan fungsi HR. Mulai dari memberikan wewenang yang lebih besar, memastikan kesejahteraan HR sendiri, hingga membangun budaya kerja yang lebih adil dan transparan.
Jika kondisi ini terus dibiarkan, jangan heran jika semakin banyak HR yang memilih resign dan mencari tempat kerja yang lebih menghargai peran mereka secara profesional.