Mengatasi Stres di Lingkungan Kerja
Mengatasi Stres di Lingkungan Kerja
- Oleh : Kimberly
- Peserta HR Officer Development Program, angkatan 1
Stres merupakan kata-kata yang sering kita dengar dalam kehidupan sehari-hari diucapkan oleh setiap orang, mulai dari anak-anak sampai orang dewasa. Stres memang memiliki kemungkinan yang sangat besar untuk dialami oleh setiap orang. Bahkan kecil kemungkinannya, ada orang yang tidak pernah mengalami stress dalam kehidupannya. Stres merupakan suatu kondisi yang sudah sangat sering terjadi dalam kehidupan setiap orang, begitu pula dengan stres di tempat kerja yang dialami oleh para karyawan. Stres di tempat kerja biasanya muncul karena banyaknya tekanan atau beratnya beban kerja yang tidak dapat ditanggung oleh karyawan dan biasanya akan berdampak pada kinerja karyawan secara keseluruhan.
Sebelum stres terjadi, akan lebih baik jika kita dapat melakukan tindakan untuk mencegahnya. WHO (2003) mengungkapkan tiga tahapan untuk mencegah stres, yaitu primary prevention, secondary prevention, dan tertiary prevention. Pada primary prevention, hal yang dapat dilakukan untuk mengurangi kemungkinan terjadinya stres adalah dengan memberikan perhatian pada masalah ergonomi, desain kerja dan lingkungan kerja, serta pengembangan organisasi dan manajemen. Pada secondary prevention, hal yang dapat dilakukan adalah dengan memberikan pelatihan dan pembekalan bagi karyawan, sedangkan pada tertiary prevention, hal yang dapat dilakukan untuk mengurangi dampak dari stres adalah dengan mengembangkan sistem manajemen yang lebih sensitif dan responsif, serta lebih maju dalam memperhatikan masalah kesehatan kerja.
Selain ketiga tahapan untuk mencegah stres, WHO (2003) juga mengungkapkan bahwa stres kerja sebenarnya dapat diatur secara efektif dengan menggunakan pendekatan risk management. Pendekatan ini mengukur kemungkinan resiko yang ada di lingkungan kerja yang mungkin dapat menimbulkan bahaya bagi karyawan, baik bahaya fisik maupun psikologis. Dalam pendekatan ini, terdapat lima tahapan berupa siklus yang harus dilakukan, yaitu analisis situasi dan pengukuran resiko, merancang rencana tindakan untuk mengurangi resiko stress kerja, mengimplementasikan rencana tindakan tersebut, melakukan evaluasi, dan mempelajari serta menentukan tindakan selanjutnya berdasarkan hasil evaluasi yang dilakukan.
Stres biasanya diasosiasikan dengan seberapa baik atau buruk seseorang mengatasi perubahan yang terjadi dalam hidupnya, baik dalam kehidupan di rumah, tempat kerja, atau dalam situasi sosial (Stranks, 2005). Dampak fisik dan mental dari stres yang telah disebutkan sebelumnya, mungkin muncul apabila stres tidak ditangani atau ditangani secara buruk (Ogawa, 2007). Oleh karena itu, penting bagi kita untuk mengetahui cara-cara mengatasi stres agar dapat menghindari dampak negatif dari stres.
Cara mengatasi stres kerja dapat dibagi menjadi dua, secara individu dan organisasi. Bila dilihat dari pihak organisasi, NIOS mengungkapkan penanganan terhadap stres kerja dapat dilakukan dengan memberikan pelatihan stress management dan program pelayanan karyawan atau employee assistance program (EAP) untuk meningkatkan kemampuan karyawan dalam mengatasi situasi kerja yang sulit.
Dalam program stress management, karyawan diberikan pelajaran mengenai apa itu stres, sumber-sumber stres, dampak stres terhadap kesehatan, dan kemampuan personal yang dapat digunakan untuk mengatasi stres, seperti pelatihan time management atau pelatihan relaksasi. Pemberian pelatihan ini dapat dengan cepat mengurangi gejala-gejala stres, seperti kecemasan dan gangguan tidur. Pelatihan ini juga memiliki keuntungan, diantaranya mudah untuk diimplementasikan dan tidak mahal. Walaupun begitu, program pelatihan ini juga memiliki kekurangan, seperti efek dari pelatihan hanya berlangsung dalam jangka pendek dan seringkali melupakan akar penyebab terjadinya stres karena cenderung berfokus pada karyawan dan bukan pada lingkungan. Sedangkan pada employee assistance program, organisasi menyediakan konseling secara individual untuk karyawan yang memiliki masalah, baik masalah personal maupun masalah pekerjaan. Dengan adanya program konseling individual ini, diharapkan karyawan dapat mengungkapkan masalah yang dialaminya dan bisa mendapatkan bantuan untuk menyelesaikan masalah yang ia alami. Dengan begitu, stres yang dialami karyawan diharapkan akan berkurang sehingga karyawan dapat kembali bekerja dengan baik.
Selain cara-cara yang disebutkan diatas, WHO (2003) juga menyebutkan beberapa cara yang dapat digunakan oleh organisasi untuk menyelesaikan masalah stress kerja, antara lain work redesign, stress management training, ergonomics and environmental design, management development, dan organizational development. Pada job redesign, fokus penanganan ada pada tuntutan, pengetahuan dan kemampuan, dukungan dan kontrol terhadap pekerjaan yang meliputi perubahan tuntutan dalam pekerjaan, memastikan bahwa karyawan memiliki atau dapat mengembangkan pengetahuan dan kemampuan yang dibutuhkan untuk mengerjakan pekerjaan mereka dengan efektif, meningkatkan kontrol karyawan terhadap bagaimana cara mereka mengerjakan pekerjaaan, dan meningkatkan jumlah serta kualitas dukungan yang mereka terima.
Pada stress management training, karyawan diminta untuk menghadiri kelas-kelas relaksasi, pengaturan waktu, dan pelatihan mengenai kemampuan asertif. Pada ergonomics dan environmental design, hal yang dapat dilakukan adalah dengan meningkatkan penggunaan peralatan dalam bekerja dan kondisi fisik kerja. Pada management development, hal yang dilakukan adalah dengan meningkatkan sikap manajer dalam mengatasi stres kerja, pengetahuan dan pemahaman yang mereka miliki mengenai stres dan kemampuan untuk mengatasi masalah seefektif mungkin. Terakhir, pada organizational development, dilakukan dengan mengimplementasikan sistem kerja dan sistem manajemen yang lebih baik, serta mengembangkan budaya lebih suportif dan friendly. Dengan berbagai cara mengatasi stres yang diungkapkan diatas, diharapkan stres kerja pada karyawan dapat diatasi sesuai dengan masalah yang dialami. Sebagai contoh, bila stres yang dialami oleh karyawan diakibatkan beban kerja yang terlalu banyak dan peran yang tidak jelas, maka penanganan yang dapat diberikan adalah dengan melakukan work redesign dan atau pelatihan time management. Jika ternyata stres yang terjadi diakibatkan lingkungan kerja yang tidak nyaman, maka hal yang harus dilakukan adalah dengan mengatur ergonomics dan enviromental design.
Selain penanganan stres yang dilakukan oleh organisasi, karyawan sebagai individu juga berperan dalam usaha untuk menangani stres yang dialami oleh dirinya. Penanganan terhadap stres secara individu biasanya diasosiasikan dengan gaya coping yang ia miliki. Secara umum, terdapat tiga jenis coping yang biasa digunakan, yaitu emotion focused coping, problem focused coping, dan palliative coping (Schabracq, Winnubst & Cooper, 2003). Emotion focused coping merupakan cara penyelesain masalah dimana seseorang berfokus untuk mengontrol emosi yang dirasakan untuk dapat mengurangi stres dan menyelesaikan masalah. Problem focused coping merupakan cara penyelesaian masalah dimana seseorang berfokus pada masalah yang sedang terjadi dan ia berfokus untuk mencari solusi terhadap masalah tersebut untuk dapat mengurangi stres yang dialami. Sedangkan palliative coping adalah suatu respon yang membantu seseorang untuk merasa lebih baik, padahal masalah sebenarnya tidak teratasi atau masalah tetap ada.
Dari ketiga jenis coping ini, jenis coping yang paling baik untuk mengatasi stres adalah emotion focused coping dan problem focused coping, karena kedua jenis coping ini berfungsi untuk membantu seseorang mengatur emosinya, yang kemudian dapat membuat seseorang merasa lebih tenang dan rileks, sehingga akan mengurangi ketegangan yang terjadi dalam dirinya akibat stress yang dialami. Begitu pula dengan problem focused coping, dimana seseorang akan berusaha untuk menyelesaikan masalah yang ia alami, sehingga ketika masalah tersebut sudah teratasi, maka ia juga tidak akan mengalami stres. Penanganan stres secara individu juga dapat dilakukan dengan cara yang lebih sederhana, seperti meminta bantuan atau dukungan sosial dari teman-teman atau lingkungan sekitar, mencari dukungan dari program konseling, mengadopsi gaya hidup yang lebih sehat, mengembangkan teknik coping yang baru, dan jika dibutuhkan gunakan dukungan berupa obat yang disarankan untuk kurun waktu tertentu (Stranks, 2005).
Dari berbagai cara yang diungkapkan diatas, sebenarnya tidak ada cara yang paling baik ataupun paling kurang baik. Untuk bisa benar-benar mengatasi stres, kita harus terlebih dahulu melihat apa yang menjadi sumber stres yang dialami oleh seseorang. Dari hasil penilaian tersebut barulah kita memutuskan tindakan apa yang akan kita ambil, yang paling tepat dan efektif untuk mengatasi stres tersebut. Oleh karena itu, untuk mengatasi stres kerja, hal yang paling pertama harus dilakukan adalah dengan mengidentifikasi masalah apa yang dialami oleh karyawan dan apa yang menjadi akar permasalahan tersebut. Hal ini dapat dilakukan dengan melakukan wawancara dengan karyawan untuk mengetahui masalahnya. Selama proses wawancara tersebut, kita juga perlu menggali kondisi fisik maupun psikologis serta teknik coping apa yang selama ini sudah ia gunakan, sehingga dapat diperoleh gambaran yang lengkap mengenai kondisinya. Setelah diketahui sumber masalah dan kondisinya, kita dapat mulai menentukan langkah apa yang dapat kita ambil untuk membantu karyawan dalam mengatasi masalahnya. Jika ternyata masalah yang dialami karyawan dirasa terlalu berat atau kompleks untuk dapat dibantu oleh organisasi, maka organisasi dapat meminta bantuan tenaga ahli atau merujuk karyawan kepada pihak yang dianggap kompeten untuk membantu mengatasi masalah yang dialami oleh karyawan.
Akan tetapi, pencegahan tentunya akan lebih baik daripada mengobati, sehingga penting pula bagi organisasi maupun individu untuk memperkecil kemungkinan terjadinya stres. Sebagai sebuah instansi, organisasi dapat berupaya untuk merancang pekerjaan dan lingkungan kerja yang baik, yang dapat meminimalisir kemungkinan terjadinya stres. Organisasi juga dapat membantu karyawan dengan memberikan pembekalan pada mereka dalam mencegah dan mengatasi stres yang mungkin terjadi. Karyawan secara individu juga perlu mengenali teknik coping yang ia miliki dan juga secara aktif mengatur gaya hidupnya agar dapat mencegah dan mengatasi stres dengan baik.
Referensi:
Ogawa, N. (2007). Stress, coping behavior, and social support in Japan and The United States. Available from ProQuest Dissertations and Theses Database. (UMI No. 3330867)
Schabracq, M. J., Winnubst, J. A. M., Cooper, C. L. (2003). The handbook of work and health psychology (2nd ed.). England, West Sussex: John Wiley & Sons.
Stranks, J. (2005). Stress at work: Management and prevention. Oxford: Elsevier Butterworth-Heinemann.
World Health Organization, Institute of Work, Health & Organization. (2003). Work organization & stress: Systematic problem approaches for employers, managers and trade union representatives (Protecting workers’ health series no. 3). Retrieved from http://www.who.int/occupational_health/publications/en/oehstress
- Penulis :
- Kimberly
- Peserta HR Officer Development Program
- angkatan 1
Bagi Rekan & Sahabat HRD yang ingin mengirimkan Team HR nya dalam program HRODP angkatan berikutnya, silakan baca informasi lengkapnya di sini HRODP. Terima kasih.