Ingin Tahu Apa itu Meta-Coaching ?
Ketika seorang karyawan baru masuk perusahaan, biasanya di hari pertama diberikan program induction – program pengenalan tentang perusahaan, mulai dari lingkungan, sejarah berdirinya perusahaan sampai pada produk dan ‘tour kecil’ keliling kantor memperkenalkan rekan-rekan kerjanya. Program ini berbeda-beda tergantung dari masing-masing perusahaan, ada yang komprehensif, ada juga yang sebatas pada lingkup kerja yang berhubungan dan bahkan tidak ada sama sekali, cukup apa yang perlu dikerjakan saja.
Tapi selalu ada satu kesamaan, yakni diberitahu belum tentu mau.
Seorang sales yang telah dilengkapi dengan product knowledges, telah jelas fokus area pasar yang ditargetkan, rajin datang pagi dan selalu di lapangan menjual product, by the end of the day ternyata tidak ada ‘closing’-nya. Manager lalu mulai monitor setelah sekian hari, apa yang terjadi .. oh ternyata cara komunikasinya ga bagus, maka perlu ikut training komunikasi biar bisa perform – sayang kalau dikeluarkan, karena orangnya rajin dan ulet. Alhasil HR mengikutsertakan yang bersangkutan untuk ikut training komunikasi. Lumayan, ada peningkatan jumlah yang di-approach .. tapi tetap ga pernah closing. Perusahaan berfokus pada hasil, berapa angka yang dicapai? Nihil. Tunggu 3 bulan mengundurkan diri? Kelamaan. Mau dipecat sekarang? Siapa tahu ada harapan. Orangnya ulet dan punya sikap yang baik, sopan, ramah, supel. Minggu ke 6 diberikan mentor, ikut menemani. Cara approach tidak banyak beda dengan sales yang perform lainnya, kecuali satu … pembicaraan tidak meruncing ke arah closing. Setelah diusut, ternyata mindset nya berbeda. Sales ini, yang secara ilmu pengetahuan mumpuni, yang secara behavioral rajin dan ulet, sikap kerja juga ramah dan sopan .. tidak perform karena ketidakberanian untuk mengarahkan pembicaraan ke closing, berharap konsumen yang bilang ‘ok, saya beli’ … banyak tahu tapi tidak mau ..
Benarkah dia tidak mau? Tentu tidak!! Tapi itu terjadi.
Saya coach dan akhirnya menemukan bahwa ternyata ada tersirat dalam dirinya bahwa ‘closing adalah maksa’ … nah loh, kok bisa? Ga perlu nanya dari mana asal muasal pemikiran ini, karena mungkin dari pengalaman masa kecil, mungkin dari cerita orang tua, mungkin pernah dengar keluhan orang lain di sampingnya. Yang bersangkutan tidak menyadari sama sekali karena ini adalah ‘frame of mind’ yang tidak kelihatan, tidak terbaca tapi menjadi dasar acuan berperilaku, tanpa sadar. Mungkin bisa diterapi, tapi resiko mengeluarkan lebih banyak hal tak menyenangkan di masa lalu, yang tidak ada kaitan dengan pekerjaan tapi malah membangkitkan ‘macan tidur’. Maka sebaiknya di-coach. Menyadari adanya frame ini yang jelas tidak perform, dan bagaimana agar perform. Pun, seninya justru bagaimana cara bisa menemukan frame of mind ini hanya dengan ngobrol biasa.
Cerita yang lain ..
Seorang karyawati cerdas dan teliti. Apapun yang diajarkan akan segera dipahami, tapi tidak selalu dijalankan. Perlu diingatkan, ditagih bahkan ditungguin. Kalau tanya solusi, dia orangnya. Logikanya jalan, tapi sayang disiplinnya tidak. Mau ditegur? Diberikan peringatan? Mulai dari teguran halus sampai teguran keras sudah diberikan. Bahkan sudah ditunggui, tetap saja terulang dan terulang lagi.
Perusahaan banyak berfokus pada perilaku, bagaimana agar omzet naik, bagaimana agar KPI tercapai. Dengan jalan reward and punishment, dengan memberikan training dan mentoring … namun pada dasarnya ini bukan lagi soal behavioral, bukan juga soal pengetahuan dan kompetensi .. banyak orang tahu apa yang perlu dilakukan tapi ternyata tidak dilakukan .. karena soal kemauan.
Secara eksplisit, kalau ditanya pasti setiap orang mau perform, mau mencapai yang terbaik. Tapi ada ‘frame of mind’ yang men-sabotase dari dalam. Untuk mengetahui dan merubah ‘frame of mind’ ini perlu meta-coaching.
Apa itu Meta-Coaching? Apa pula bedanya dengan Coaching?
Sekarang ini banyak profesi coach di masyarakat. Semuanya bertujuan sama, yakni memfasilitasi coachee (klien) dalam mencapai tujuannya. Seorang coach tidak berfokus pada masalah, tapi bagaimana agar mencapai tujuan dengan cepat, yang pada prosesnya bisa saja timbul masalah. Ada coach yang akan langsung memberitahu cara untuk mencapai tujuan (sebenarnya ini adalah konsultan), mengajarkan cara untuk mencapai tujuan (konsultan, trainer), ada coach yang mengarahkan coachee pada cara untuk mencapai tujuan (coach?). Ini yang saya sebut sebagai performance coach, yang boleh memberikan solusi, umumnya berkisar pada hal-hal teknis.
Seorang Meta-Coach tidak boleh memberikan jawaban, dan memang tidak pernah tahu jawabannya. Why? Karena Meta-Coach berfokus pada ‘frame of mind’ tadi, pada ‘software’ yang menggerakkan kemauan untuk melakukan apa yang telah diketahui tadi. Setiap orang punya jawabannya masing-masing yang tidak sama dengan orang lain dengan case yang sama. Inilah seninya seorang Meta-Coach untuk ngobrol dan menemukan structure pikiran coachee-nya. Saya sebut sebagai transformational coach.
Performance coach = fasilitasi outside in (motivasi/diajarkan dari pihak eksternal ke internal).
Transformational coach = fasilitasi inside out (muncul dari dalam diri sendiri sehingga perform secara eksternal).
Tahu tapi belum tentu mau.
Ketika seseorang sudah tahu tapi tidak mau ..
Atau sudah banyak pengetahuan dan ketrampilan tapi tidak perform juga …
Di saat itulah kita butuh coach.
Salam hangat,
Mariani Ng