Karyawati Hamil di Luar Pernikahan, Dapat Cuti Melahirkan?
Karyawati Hamil di Luar Pernikahan, Dapat Cuti Melahirkan?
Diskusi HR yang tengah berlangsung mengangkat case Karyawati Hamil di luar pernikahan, dari sudut pandang aturan ketenagakerjaan, apakah sang karyawati tetap memiliki hak istirahat melahirkan? atau bagaimana? mari kita simak baik-baik diskusi yang tengah berlangsung di Diskusi-HRD@yahoogroups.com ; forum diskusi yang dikelola oleh HRD Forum ini saat ini telah memiliki member sebanyak 21.700 member, yang sebagian besar adalah praktisi HR dari berbagai jenis industri di seluruh Indonesia.
Silakan menyimak jalannya diskusi, semoga menambah pengetahuan kita sebagai praktisi HR.
Pertanyaan :
Dear Pakar HR,
Mohon masukannya jika ada salah satu karyawan di tempat kami hamil tetapi tidak menikah, apakah tetap mendapatkan cuti melahirkan? dan pada saat cuti apakah gajinya tetap dibayar atau tidak?
Terimakasih
XXXXX
Tanggapan 1
Hallo…di tempat kami pernah ada kejadian serupa dan kami tetap berikan ybs cuti melahirkan dengan tetap membayar gajinya…semoga membantu menjawab.
Terima kasih.
Galuh Ajeng
Tanggapan 2
Dear,
Dalam Pasal 82, Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan, baik ayat 1 maupun ayat 2, jelas terlihat bahwa hak cuti hamil dan melahirkan bagi pekerja wanita tanpa memandang apakah ia hamil di luar nikah (belum menikah) atau tidak, maka pekerja wanita berhak mendapatkannya.
Dan selama pekerja wanita itu melaksanakan hak cuti hamil dan melahirkan tersebut, maka pekerja wanita tersebut berhak mendapatkan upah penuh.
Kurang dan lebihnya kami mohon maaf, mungkin ada pandangan dari pakar-pakar yang lain.
Thanks and regards,
Dodi Kurnaiwan
Tanggapan 3
Setuju..HR mestinya tidak mengatur hingga ranah pribadi kehidupan warga perusahaan.
Selama pegawai tsb benar hamil / keguguran / melahirkan , maka pegawai ybs berhak atas hak2 yg diatur perudangan.
Jika pegawai berlaku asusila di wilayah kantor, kita HR bisa menegur.
Semoga berkenan.
Ernie Sianto
Tanggapan 4
Dear,
Hak istirahat melahirkan tidak melihat status pernikahan (menikah atau tidak menikah).
Sehingga menjadi hak setiap wanita yang sedang hamil, sebanyak 1,5 bulan sebelum dan 1,5 bulan sesudah melahirkan.
salam,
Budi Sp
Tanggapan 5
Dear,
Sesuai dengan UUTK No. 13 Tahun 2003 Pasal 82 ayat 1 & 2 sendiri hanya menyatakan cuti melahirkan bagi pekerja wanita (tanpa memandang apakah ia hamil dengan status menikah atau hamil di luar nikah) , jadi menurut hemat saya karyawan tersebut tetap mendapatkan hak cuti dan hak yang melekat selama cuti tersebut, hal ini menunjukkan bahwa perusahaan memiliki kebijaksanaan terhadap karyawannya. Karena perkara karyawan tsb menikah atau tidak menikah itu adalah urusan pribadinya yang tidak bisa kita ikut campur di dalamnya.
Regards,
M. Khadafi Siregar
Tanggapan 6
Menurut saya sih sesuai aturan dan undang2. Menikah yang sah dan terdaftar di personalia adalah yang berhak mendapat fasilitas.
Aturan dibuat memang untuk mencegah agar tidak ngombro-ombro masalah, ya pasti tidak nyaman bagi yang diatur.
Personalia dituntut yg profesional, bukan yg melulu manusiawi.
Salam
Frans
Tanggapan 7
Kasus ini pernah saya temui dan saat itu kami menerapkan karyawan tersebut tetap kita berikan fasilitas cuti, karena hal tersebut tidak bisa dihindari namun karena belum menikah atau dengan kata lain pernikahannya belum tercatat di personalia maka untuk gaji nya tidak diberikan. Fasilitas tersebut disepakati karyawan dan dijalankan, dengan satu sisi ybs menyadari kesalahannya.
Salam,
Yogie Pratiko
**
Bagaimana kelanjutan diskusinya? silakan bergabung di milis Diskusi-HRD@yahoogroups.com
Bagi Anda yang ingin ikut bergabung dalam forum diskusi yang HRD Forum kelola, silakan kirimkan email kosong ke : Diskusi-HRD-Subscribe@yahoogroups.com ; selanjutnya anda akan menerima email konfirmasi, silakan langsung saja reply email konfirmasi tersebut, setelah itu anda hanya tinggal menunggu approval dari moderator. Selamat bergabung bersama 21,700 praktisi HR se Indonesia di Diskusi-HRD@yahoogroups.com ; forum diskusi dan komunitas HR terbesar di Indonesia.
Mohon pencerahannya.
Bagaimana dengan perusahaan yang mempunyai Peraturan Perusahaan yang salah satu ayat di dalamnya berbunyi ” Terkait dengan cuti melahirkan dan cuti keguguran kandungan, hanya dibenarkan apabila perkawinannya dilaksanakan sesuai dengan ketentuan hukum dan perundangan yang berlaku.”
Apakah Peraturan Perusahaan tersebut bisa dijadikan acuan untuk tidak memberikan cuti hamil maupun cuti keguguran kandungan kepada karyawan wanita yang tidak/belum terikat perkawinan yang sah secara hukum?