Toxic Positivity : Senyum Palsu, Produktivitas Ambyar
Toxic Positivity di Kantor: Senyum Palsu, Produktivitas Ambyar
Di era yang kian maju ini, kita sering mendengar istilah “toxic positivity,” terutama di lingkungan kerja. Banyak dari kita, baik sebagai pekerja maupun praktisi HR, merasa terjebak dalam budaya kerja yang menuntut untuk selalu optimis, bersemangat, dan tampak bahagia. Namun, tanpa disadari, sikap ini bisa menjadi racun bagi produktivitas dan kesehatan mental kita. Artikel ini akan mengupas tuntas tentang toxic positivity di kantor dan dampaknya terhadap karyawan serta organisasi secara keseluruhan.
Apa Itu Toxic Positivity?
Toxic positivity adalah sikap atau budaya yang mempromosikan reaksi positif berlebihan, sering kali mengabaikan emosi negatif yang sah. Istilah ini mencakup segala sesuatu mulai dari komentar positif yang meremehkan, hingga perlakuan yang memaksa individu untuk selalu tersenyum meskipun mereka merasa tertekan atau tidak bahagia. Misalnya, saat muncul masalah, alih-alih mendiskusikannya dengan jujur, kita justru sering mendengar kalimat-kalimat seperti “Tetap semangat, semuanya akan baik-baik saja” atau “Cobalah untuk berpikir positif!” Kesan yang ditimbulkan adalah bahwa perasaan negatif tidak diakui dan seolah-olah dilarang.
Dampak Toxic Positivity di Tempat Kerja
1. Kesehatan Mental yang Terabaikan
Banyak orang yang merasa harus menyembunyikan perasaan negatif mereka demi menjaga suasana hati yang positif. Akibatnya, perasaan seperti stres, kecemasan, dan depresi yang seharusnya diekspresikan malah terpendam. Dengan demikian, bukan hanya kinerja yang terganggu, tapi juga kesehatan mental yang semakin terpuruk. Menurut studi, tekanan untuk terus-menerus merasa bahagia bisa membuat seseorang merasa terasing di lingkungan kerja, yang berpotensi menyebabkan burnout.
2. Komunikasi yang Tidak Efektif
Toxic positivity mempengaruhi cara karyawan berkomunikasi. Ketika ada masalah, bukannya mencari solusi yang konstruktif, orang-orang cenderung menghindar. Mereka mungkin lebih memilih untuk menciptakan ilusi bahwa semuanya baik-baik saja daripada membahas isu yang sebenarnya. Hal ini dapat menghambat kolaborasi, meningkatkan kesalahpahaman, dan pada akhirnya menurunkan kualitas kerja.
3. Budaya Kerja yang Tidak Sehat
Saat sebuah perusahaan mendorong toxic positivity, mereka sebenarnya menciptakan budaya kerja yang tidak sehat. Karyawan dapat merasa tidak nyaman untuk bersikap jujur tentang tantangan yang mereka alami. Ini bisa memicu ketidakpuasan kerja, penurunan motivasi, dan bahkan meningkatkan angka pergantian karyawan. Ketika karyawan merasa bahwa mereka tidak bisa menjadi diri sendiri, loyalitas terhadap perusahaan pun berkurang.
Ciri-Ciri Toxic Positivity di Lingkungan Kerja
Sebagai praktisi HR atau anggota tim, penting untuk mengenali ciri-ciri toxic positivity agar dapat mengambil langkah preventif:
- Senyum Palsu: Jika banyak karyawan merasa harus tersenyum meskipun mereka merasa terbebani, ini adalah tanda pertama dari toxic positivity.
- Kata-kata Penghiburan Berlebihan: Jika komentar seperti “Segala sesuatu akan baik-baik saja” atau “Berpikir positif adalah kuncinya” menjadi hal umum saat ada masalah, ini merupakan indikator jelas.
- Menghindari Diskusi Emosional: Ketidakterbukaan untuk membahas masalah atau tantangan yang dihadapi karyawan adalah tanda bahwa toxic positivity mungkin telah mengakar.
Bagaimana Mengatasi Toxic Positivity di Kantor?
1. Menciptakan Ruang untuk Ekspresi Emosi
Perusahaan perlu menyediakan saluran bagi karyawan untuk mengekspresikan emosi mereka. Misalnya, mengadakan sesi diskusi terbuka, di mana karyawan dapat membicarakan tantangan yang mereka hadapi tanpa rasa takut akan stigma negatif.
2. Mendorong Autentisitas
Karyawan harus merasa aman untuk menjadi diri mereka sendiri. Mendorong kejujuran dan transparansi dalam komunikasi akan membantu menciptakan lingkungan kerja yang lebih sehat. Pemimpin perlu memberi contoh dengan terbuka membagikan tantangan dan kerentanan yang mereka hadapi.
3. Latihan Kesadaran Emosional (Emotional Awareness)
Mengintegrasikan program pelatihan tentang kesadaran emosional dapat membantu karyawan mengenali, memahami, dan mengekspresikan emosi mereka dengan cara yang sehat. Ini sangat penting untuk membangun empati antar rekan kerja.
4. Fokus pada Kesehatan Mental
Perusahaan bisa menyediakan sumber daya untuk kesehatan mental, seperti layanan konseling atau program kesejahteraan. Dengan memberikan dukungan nyata, karyawan akan lebih merasa diperhatikan dan dihargai.
Catatan
Toxic positivity di kantor mungkin tampak tidak berbahaya, tetapi dampaknya bisa merusak produktivitas dan well-being karyawan. Dalam dunia kerja yang semakin menuntut, penting bagi kita untuk memahami bahwa merasakan berbagai emosi adalah hal yang normal. Keseimbangan antara optimisme dan kejujuran emosional adalah kunci untuk menciptakan lingkungan kerja yang sehat dan produktif. Dengan melakukan perubahan positif ini, perusahaan tidak hanya dapat meningkatkan produktivitas, tetapi juga menciptakan tempat kerja yang lebih inklusif dan mendukung.
Dengan demikian, mari kita mulai mengubah perspektif tentang bagaimana kita berbicara dan merasakan emosi di tempat kerja. Sebuah senyuman tidak selalu harus menyembunyikan perasaan yang mendalam, dan terkadang kita harus memberi ruang bagi duka dan kesedihan untuk menciptakan ruang bagi pertumbuhan yang lebih baik. Ini adalah momen di mana kejujuran dan kemanusiaan kita sebagai pekerja dan pengelola dapat bersinar. Dengan ini, mari kita berhenti menulis kisah senyum palsu dan mulai menulis cerita yang lebih otentik di tempat kerja.