Menemukan Cahaya di Tengah Penantian: Refleksi Seorang Job Seeker

0

Menemukan Cahaya di Tengah Penantian: Refleksi Seorang Job Seeker

Oleh: Tim HRD Forum

Di sudut kecil kamar kos saya di Yogyakarta, saya duduk di depan meja kayu sederhana yang sudah penuh goresan waktu. Layar laptop menyala, menampilkan tab browser yang tak terhitung jumlahnya: LinkedIn, beberapa Job Portal dan email yang berisi penolakan sopan dari perusahaan-perusahaan yang saya lamar. Di samping laptop, secangkir kopi yang sudah dingin menjadi saksi bisu malam-malam panjang yang saya habiskan untuk menyempurnakan CV, menulis surat lamaran, dan mempersiapkan diri untuk wawancara yang entah kapan akan datang. Tiga tahun sejak lulus dari salah satu universitas ternama di Indonesia, dan saya masih di sini—seorang job seeker yang terus berlari di treadmill tak berujung.

Hari ini, matahari pagi menyelinap melalui celah-celah jendela, menerangi tumpukan buku catatan yang penuh dengan tips dan strategi yang saya kumpulkan dari webinar, artikel LinkedIn, dan video YouTube tentang “Cara Sukses Mendapatkan Pekerjaan Impian”. Saya telah mencoba semuanya: memperbarui profil LinkedIn hingga sempurna, menyesuaikan CV untuk setiap lamaran, berlatih behavioral interview di depan cermin, bahkan mengikuti kursus daring untuk menambah sertifikasi. Namun, setiap notifikasi email yang masuk hanya membawa kekecewaan: “Terima kasih atas lamarannya, namun saat ini kami belum dapat melanjutkan ke tahap berikutnya.” Atau, lebih sering, keheningan total—lamaran saya seolah lenyap di lautan algoritma Applicant Tracking System.

Di tengah rutinitas yang melelahkan ini, sebuah pertanyaan mulai menggerogoti pikiran saya: Apakah perjuangan ini masih berarti? Apakah semua usaha, doa, dan harapan yang saya tumpahkan sia-sia?

Penantian yang Menguras Jiwa

Sejak lulus dengan predikat cum laude dari jurusan Manajemen Bisnis, saya membayangkan diri melangkah ke dunia kerja dengan penuh percaya diri. Gelar dari universitas ternama, pengalaman organisasi kampus yang mentereng, dan proyek-proyek freelance yang saya jalani selama kuliah seolah menjadi jaminan bahwa pintu kesempatan akan terbuka lebar. Tapi, kenyataan berkata lain. Tiga tahun berlalu, dan saya masih terjebak dalam siklus lamaran, penolakan, dan penantian.

Setiap hari dimulai dengan ritual yang sama. Pagi-pagi, saya membuka laptop, memeriksa email, dan menelusuri platform lowongan kerja. Saya membaca ulang CV saya, memastikan setiap kata terdengar profesional. Saya mengikuti saran dari para “pakar” di LinkedIn: gunakan kata kunci yang tepat, bangun personal branding, jaringan dengan profesional di industri. Saya menghadiri virtual career fair, mengirim pesan ke rekruter, dan bahkan berani menghubungi alumni universitas untuk meminta saran. Tapi, seperti pelari yang terus berlari tanpa garis finis, saya merasa semakin lelah—bukan hanya fisik, tapi juga jiwa.

Saya teringat sebuah laporan dari International Labour Organization (2024) yang menyebutkan bahwa tingkat pengangguran kaum muda terdidik di Indonesia mencapai 8,7%, lebih tinggi dibandingkan dekade sebelumnya. Saya bukan satu-satunya yang berjuang, tapi kesadaran itu tidak membuat penantian ini terasa lebih ringan. Di grup WhatsApp teman-teman seangkatan, saya melihat mereka berbagi kabar tentang promosi, proyek baru, atau perjalanan dinas. Sementara saya, dengan segala usaha dan gelar yang saya banggakan, masih terduduk di kamar kos ini, memandangi layar yang seolah menertawakan saya.

Algoritma dan Bayang-Bayang Kegagalan

Sore itu, saat hujan gerimis membasahi jendela, saya membuka LinkedIn untuk kesekian kalinya. Algoritma platform itu dengan cerdik menampilkan postingan tentang “5 Kesalahan Fatal dalam CV” dan “Bagaimana Saya Mendapatkan Pekerjaan di Perusahaan Multinasional dalam 3 Bulan”. Saya mengklik salah satu, membaca dengan setengah hati, lalu menutup tab. Bukannya termotivasi, saya justru merasa semakin tenggelam. Mengapa semua tips ini tidak bekerja untuk saya? Apakah saya kurang berusaha? Atau ada yang salah dengan saya?

Algoritma di LinkedIn, JobStreet, dan platform lainnya seharusnya membantu saya menemukan peluang. Mereka menyaring lowongan yang sesuai, merekomendasikan keterampilan yang perlu saya pelajari, dan menyarankan koneksi baru untuk memperluas jaringan. Tapi, seperti yang pernah ditulis oleh Cathy O’Neil dalam Weapons of Math Destruction (2016), algoritma ini tidak selalu netral. Mereka mencerminkan bias pasar kerja, menyaring kandidat berdasarkan kata kunci atau metrik yang kadang tidak mencerminkan potensi sejati seseorang. Saya merasa seperti sedang bersaing dengan mesin, bukan dengan manusia.

Lebih dari itu, saya mulai merasa terjebak dalam filter bubble yang diciptakan oleh media sosial. Setiap hari, saya melihat unggahan tentang kesuksesan orang lain: teman yang baru diterima di perusahaan teknologi, kenalan yang pindah ke luar negeri untuk bekerja, atau influencer yang berbagi kisah “dari nol ke puncak”. Perbandingan itu seperti racun yang perlahan menggerus kepercayaan diri saya. Saya mulai mempertanyakan nilai diri saya, gelar saya, bahkan mimpi saya.

Refleksi: Menemukan Makna di Tengah Penantian

Malam itu, setelah menutup laptop dengan perasaan hampa, saya memutuskan untuk berhenti sejenak. Saya berjalan keluar kos, duduk di teras, dan memandangi langit yang dipenuhi bintang. Untuk pertama kalinya dalam beberapa bulan, saya membiarkan diri saya merasakan keheningan. Di tengah sunyi, sebuah pertanyaan muncul: Jika pekerjaan yang saya kejar ini belum juga datang, apa yang sebenarnya saya pelajari dari perjuangan ini?

Saya teringat sebuah momen di tahun pertama setelah lulus. Saya pernah mengikuti wawancara untuk posisi manajer trainee di sebuah perusahaan ritel besar. Saya sudah mempersiapkan diri selama berminggu-minggu, tapi di akhir wawancara, saya ditolak karena “kurang pengalaman”. Saya pulang dengan hati hancur, tapi malam itu, saya menulis di jurnal saya: “Kegagalan ini bukan akhir. Ia mengajarkan saya untuk lebih kuat.” Membaca ulang catatan itu, saya tersenyum kecil. Tanpa saya sadari, setiap penolakan, setiap malam panjang, dan setiap usaha yang saya lakukan telah membentuk saya menjadi seseorang yang lebih tangguh.

Saya menyadari bahwa perjuangan ini bukan hanya tentang mendapatkan pekerjaan. Ia adalah tentang menemukan makna dalam prosesnya. Tiga tahun ini, saya belajar untuk bersabar, untuk tetap berusaha meski hasilnya belum terlihat, dan untuk percaya bahwa nilai saya tidak ditentukan oleh penolakan atau algoritma. Saya belajar bahwa perjuangan saya adalah bukti keberanian—keberanian untuk terus melangkah meski jalanan penuh kabut.

Langkah Kecil Menuju Cahaya

Dari refleksi itu, saya mulai mengubah cara saya menghadapi penantian ini. Saya tidak bisa mengendalikan pasar kerja atau algoritma, tapi saya bisa mengendalikan bagaimana saya meresponsnya. Berikut adalah langkah kecil yang saya ambil, yang mungkin juga bisa menginspirasi para job seeker lain:

  1. Berhenti Membandingkan Diri. Saya memutuskan untuk mengurangi waktu di media sosial dan fokus pada perjalanan saya sendiri. Saya ingatkan diri bahwa setiap orang punya waktu dan cerita yang berbeda.

  2. Menciptakan Ruang untuk Belajar. Alih-alih hanya mengejar sertifikasi untuk CV, saya mulai belajar hal baru yang benar-benar saya nikmati, seperti menulis atau analisis data. Ini membuat saya merasa hidup, bukan sekadar kandidat.

  3. Berbagi Cerita. Saya mulai menulis blog kecil tentang pengalaman saya sebagai job seeker. Tanpa disangka, beberapa pembaca mengirim pesan, mengatakan bahwa cerita saya memberi mereka semangat. Ternyata, perjuangan saya bisa menjadi cahaya bagi orang lain.

  4. Refleksi Harian. Setiap malam, saya menulis tiga hal yang saya syukuri dari hari itu, sekecil apa pun. Ini membantu saya melihat bahwa hidup saya lebih dari sekadar penantian.

Sebuah studi dari University of Warwick (2023) menunjukkan bahwa praktik syukur dan refleksi dapat meningkatkan ketahanan mental hingga 15%. Bagi saya, langkah-langkah ini bukan hanya tentang ketahanan, tapi tentang menemukan kembali gairah dan tujuan.

Menuju Versi Diri yang Lebih Kuat

Indonesia, dengan segala dinamika pasar kerjanya, memang penuh tantangan bagi job seeker seperti saya. Tapi, di tengah penantian ini, saya belajar bahwa pekerjaan bukanlah akhir dari perjuangan, melainkan bagian dari perjalanan yang lebih besar. Setiap lamaran yang saya kirim, setiap wawancara yang saya hadiri, dan setiap penolakan yang saya terima adalah bagian dari cerita saya—cerita tentang ketekunan, harapan, dan keberanian.

Saya kembali ke kamar kos saya dengan perasaan baru. Saya membuka laptop, tapi kali ini bukan untuk memeriksa email penolakan. Saya mulai menulis ide untuk proyek kecil yang sudah lama ingin saya coba: sebuah platform komunitas untuk job seeker seperti saya, tempat kami bisa berbagi cerita, tips, dan dukungan. Di luar, bintang-bintang masih bersinar, dan di dalam diri saya, ada cahaya baru—cahaya dari makna yang saya temukan di tengah penantian.

Catatan: Makna di Balik Penantian

Di tengah deru algoritma dan penolakan, makna perjuangan kita sebagai job seeker tidak pernah hilang—ia hanya menunggu untuk ditemukan. Untuk menemukannya, kita perlu berhenti sejenak, mendengarkan suara hati, dan percaya bahwa setiap langkah, sekecil apa pun, adalah bagian dari cerita yang indah. Karena pada akhirnya, pekerjaan bisa menentukan apa yang kita lakukan, tapi hanya kita yang bisa menentukan siapa kita.

Mari kita ciptakan ruang untuk bertumbuh, sekecil apa pun. Dari sana, kita akan menemukan bahwa penantian ini bukanlah akhir, melainkan awal dari versi diri kita yang lebih kuat, lebih bijaksana, dan lebih bercahaya.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

error: Content is protected !!
Open chat
Halo,
Ada yang bisa Kami Bantu?